(Agenda Jogja) Warga Bantul boleh berbangga hati karena Bantul memberi contoh baik untuk tatanan sebuah kota. Kota yang membela hak rakyat kecil, Bantul tanpa Mall. Jadi hak-hak pedagang kecil dan pasar tradisional tidak terdzalimi. Pembangunan yang merata. Selain masalah Mall, Bantul menjadi proyek percontohan tentang bagaimana mengolah sampah.
Sampah selalu menjadi isyu tak terpecahkan, tetapi di Bantul, sampah berubah menjadi sarana untuk edukasi dan mendukung perekonomian warga. Terletak di dusun Badekan, trirenggo, Bantul, Yogyakarta, Bank Sampah menjadi sebuah permata diantara benda-benda tidak berguna. Bank sampah ini beroperasi selayaknya Bank pada umumnya.
Di tempat ini sampah ditimbang, dicatat dan kemudian ditentukan harga dari sampah tersebut sesuai beratnya. Di sinilah letak fungsi bank karena pencairannya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Hasil penjualan sampah ini pun cukup lumayan. Bank bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 500 ribu per bulan. Menurut Bambang Suwerda yang menjadi penggagas bank sampah, masyarakat desa sangat merasakan manfaat bank sampah.Setelah dipilah sampah akan ditimbang, misalnya sampah kaleng dihargai Rp 1.500 per kilogram, sampah kertas atau plastik Rp 800 per kg.
Masyarakat yang menukar sampah disini akan diberi semacam buku tabungan. Semua transaksi akan dicatat di buku tabungan tersebut. Misalnya menjual sampah kaleng Rp 5.000, nanti pihak bank sampah akan menawarkan apakah mau uang kas langsung atau ditabung.Bank sampah sudah tiga tahun berjalan, dan petugas bank sampah berhasil menciptakan produk-produk kreatif yang beraasal dari sampah. Sampah-sampah tersebut didaur ulang menjadi barang dengan nilai ekonomi lebih tinggi, seperti tas dari kemasan deterjen, vas bunga, dan barang kerajinan untuk rumah tangga.