Jadikan Yogyakarta Istimewa bagi Pejalan Kaki

(Agenda Jogja) Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 2 Maret 2012, Pemerintah Kota Yogyakarta menandatangani nota kesepahaman dengan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), sebuah jaringan kerja yang melaksanakan rangkaian kegiatan untuk mencapai komitmen pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam bentuk keputusan mengikat tentang kebijakan peningkatan kualitas udara. Dalam kesepakatan tersebut, Pemerintah Kota Yogyakarta berkomitmen untuk mendukung program peningkatan Kota Yogyakarta sebagai kota yang laik bagi pejalan kaki.
Tidak mudah tentunya bagi pemerintah kota Yogyakarta untuk mengimplementasikan komitmen tersebut, ditengah kondisi lalu lintas Yogyakarta yang sudah mulai “semrawut”, dengan 273.538 unit sepeda motor yang tiap harinya lalu lalang di jalan, ditambah dengan mobil-mobil pribadi yang kian hari kian meningkat jumlahnya. Disamping itu, trotoar yang sedianya diperuntukkan bagi pejalan kaki, kian hari kian terdominasi oleh lapak PKL, papan penjual pulsa, tiang litrik, telepon dan tiang reklame, pot dan pohon yang kurang pas letaknya. Tak mau kalah, trotoar juga dijadikan areal parkir, bahkan diserobot oleh sepeda motor maupun untuk mangkal becak dan kendaraan penjual tiban. Keadaan ini menjadikan Yogyakarta belum layak bagi pejalan kaki, apalagi “nyaman”. Ini tentunya Pe-eR besar bagi Pemerintah Kota Yogyakarta untuk sedikit menertibkan penggunaan fasilitas kota, disamping juga upaya membangun kesadaran bagi semua warganya.
Mengapa pejalan kaki
Mantan Walikota Bogota, Enrique Penalosa, yang sukses membawa kota yang dipimpinannya mengubah 50% jalan raya menjadi jalur sepeda dan pejalan kaki untuk mengatasi kemacetan kota mengatakan, “God made us walking animals – pedestrians. As a fish needs to swim, a bird to fly, a deer to run, we need to walk, not in order to survive, but to be happy”. Setiap orang adalah pejalan kaki, dan berjalan kaki adalah salah satu jenis pilihan transportasi dari sekian banyak sarana transportasi lainnya, dan lebih uniknya lagi, menggunakan transportasi apapun selalu ada bagian berjalan kaki dalam sebuah rantai perjalanan. Begitu besar peran berjalan kaki sehingga tingkat keberhasilan sistem angkutan umum massal, yang diakui dapat mengurangi kemacetan dan polusi udara juga ditentukan oleh aksesbilitas pejalan kaki.
”Yang menjadikan perbedaan antara kota yang maju dan kota terbelakang adalah trotoar yang berkualitas. Mereka mempertunjukan penghormatan pada harkat kemanusiaan. Dimana orang miskin dan kaya adalah sama, bertemu dan berjalan di trotoar yang sama.” Filosofi ini tentunya mempunyai makna yang mendalam dalam “kesederajatan” antar warga kota. Jikalau naik kendaraan, secara kasad mata terlihat “kelas” pemakainya, maka ketika berjalan tidak akan mudah dibedakan mana yg kaya dan miskin. Justru kesantunanlah yang akan mencerminkan pribadi masing-masing. Jadi, sudah waktunyalah, pemerintah kota Yogyakarta memikirkan untuk melakukan penataan terhadap sarana pendestrian sehingga Kota Yogya menjadi “layak” bagi pejalan kaki dan bahkan “ISTIMEWA”

Sumber: PerpustakaanJogja

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *